SATU
Dinginnya angin
pagi membangunkan diri dari mimpi yang penuh tanda tanya. Pagi yang mendung
mengawali langkah kaki. Beberapa saat lagi mungkin akan segera turun hujan yang kan menghiasi hari ini. Tak lupa, angin
kencang pada musim hujan saat ini. Semuanya berlangsung seperti yang
sudah-sudah. Kisah dongeng tentang indahnya hari seakan menjadi kenyataan.
Angan-angan dan harapan siap diraih dengan senyuman. Canda, tawa, dan terutama
kebahagiaan. Hmm.. di mana keraguan yang biasa menyelimuti, atau di mana kesedihan
dan kegalauan itu? Semuanya kini telah hilang disambut hanya dengan cinta.
Jam
5 subuh Ichsan telah terbangun, meregangkan tangan dan kaki. Tersenyum manis
melihat bahwa dia tidak telat bangun untuk ke mesjid. Menuju kamar mandi
menjadi pilihan tepat, menikmati dinginnya air yang membasahi tubuh dengan
diiringi lagu Rindu by Agnes Monica melalui handphone. Setelah selesai mandi,
pemuda itu mulai menyiapkan diri untuk ke mesjid. Setelah baju koko dan celana
kain siap, pemuda itu langsung berangkat.
“Bu,
aku ke mesjid dulu yah! Assalamu alaikum.” katanya kepada Ibunya yang sedang
menyiapkan sarapan.
“Hmm..
iya. Wa’alaikum salam. Hati-hati yah!” masih sambil menyiapkan nasi goreng.
“Okok..”
cara bicaranya kalem, cool, dan penuh kedamaian membuat gerimis seketika
menghilang. Setelah selesai melaksanakan sholat subuh, Ichsan melangkah pulang
dari mesjid. Benar-benar pagi yang dingin. Beberapa saat kemudian dia sudah
sampai di rumah kemudian langsung menyantap nasi goreng buatan ibunya. Setelah
itu, dia kemudian bersiap-siap untuk ke sekolah.
“Bu..
berangkat dulu ya!” ucap Ichsan sambil tersenyum.
“Udah
selesai sarapannya?” tanya Ibu.
“Hmm..
iya. Assalamu alaikum.” sahut Ichsan dari balik pintu.
“Ya..
hati-hati. Wa’alaikum salam.” sambil melambaikan tangan.
Sesampainya
di sekolah, Ichsan langsung di sambut oleh celotekan Ethan. Di sana juga ada
Karan dan Reza tapi agak jauh dari mereka berdua. Mereka adalah sahabat baik
sejak kelas X dan sekarang mereka sudah kelas XII di salah satu sekolah
menengah atas di Makassar. Ichsan dan
Ethan lalu duduk di depan kelas mereka sambil bersilah. Keduanya ngobrol sebelum
bel masuk berbunyi.
“Hari
ini hujan lagi yah? Bosan aku kebasahan mulu kalau ke sekolah di musim hujan.”
Ethan mengawali obrolan pagi itu.
“Jelas
hujan lah. Namanya aja musim hujan. Gimana sih?” Ichsan tampak menggaruk-garuk
kepalanya, bingung.
“Ya..
aku tau sih kalau musim hujan. Tapi, sekarang kan lagi global warming. Cuaca ga
tentu, sob.”
“Iyaiya.
Aku tau kok. Pasrah aja kali, hujan ya hujan. Kalau ga mau kebasahan, ya pake
jas hujan ke sekolah. Susah begitu.” Ichsan tersenyum kecil melihat tingkah
sahabatnya itu.
“Hey, kamu suka
hujan gak?” tanya Ethan cepat.
“Iya,
sangat suka malahan. Kenapa emang?” Ichsan memberikan suatu jawaban.
“Ogh..
kenapa suka sekali sama hujan? Apa menariknya hujan?” tanya Ethan lagi.
“Sebuah
amarah bisa dihapus oleh hujan. Hujan dapat mendinginkan api batinku.” jawab
Ichsan sambil menatap hujan yang sudah makin deras.
“Just
it?” tanya Ethan sekali lagi.
“Entahlah..
mungkin masih banyak lagi, tp aku ga tau cara membahasakannya…..”
Suasana
hening beberapa saat.
“Permen
karetku tadi mana yah?” Ethan kemudian berdiri sambil mencari-cari di saku
celananya.
“Habis
mungkin sudah kau makan semua. Beli lagi sana!” Ichsan menyodorkan uang.
Beberapa
saat kemudian Ethan muncul dengan banyak permen karet yang memenuhi saku
depannya. Duduk kembali di tempat yang sama. Sahabat yang sungguh mengagumkan.
Selalu menjadi teman terbaik di semua keadaan. Walau kadang sering bikin kesal.
“Kita
ngobrol di dalam kelas Ichsan!”
“Ga
mau ah, lagi menikmati hujan nih. Lagian di dalam situasinya bising banget,
sampe bikin jatuh volume derasnya hujan. Ha.. ha..” Ichsan tertawa kecil.
Ethan
tidak ikut tertawa. Pemuda itu hanya menatap tajam Ichsan yang masih ngakak.
Sesaat suasana menjadi hening. Lalu suara hujan kian beradu dengan bisingnya gosip-gosip
cewek di dalam kelas.
“Kamu
punya pacar baru kan? Namanya siapa?” Ethan membuka kebisuan itu.
“Pacar
baru, yang mana?”
“Yang
kemarin itu! Yang melambaikan tangan sama kamu sambil senyum-senyum.” tersenyum
seakan mengejek Ichsan.
“Oh..
dia bukan pacarku, tapi teman yang baru ku kenal.” Ichsan memberikan
penjelasan.
“Kamu
itu pinter, baik, lumayan cakep lah, pokoknya bisa lah, tapi..?” Ethan mendadak
berhenti bicara.
“Tapi
kenapa?”
“Tidak
bisa mendapat seorang pacar. Haha..!” Ethan tertawa.
Mereka
berdua tertawa. Entah gimana suara tertawaan itu? Mungkin hanya sebagai
penghangat suasana dalam dinginnya hujan saat itu.
“Emang
situ. Baru putus seminggu yang lalu, sorenya sudah gandeng cewek baru. Dasar
playboy!” Ichsan membuat pernyataan.
“Nah..
itulah. Aku pengen double date ma kamu, sob!”
“Hahaha..”
Ichsan spontan tertawa.
Ketika
Ichsan sudah berhenti tertawa. Suasana hening seketika. Cukup lama mereka
terdiam. Mengembara jauh ke angan-angan cinta.
“Kamu
pernah pacaran? Cerita-cerita dong, sob!” tanya Ethan mengusir hening.
“Kalau
aku cerita apa kamu akan percaya?”
“Percaya.
Aku tau kamu bukan seorang pembohong.” Ethan tersenyum kecil.
“Dari
mana kamu tau?” Ichsan coba meyakinkan hatinya.
“Kita
udah hampir 3 tahun sekelas, lagian kamu adalah sahabatku. Menurutku, bahkan
juga menurut teman-teman yang lain kamu itu orang yang sangat misterius dan
punya banyak cerita yang kau pendam sendiri.” Ethan memberikan sebuah
penjelasan.
Sebelum
memulai ceritanya. Ichsan mengangguk-anggukkan kepala sambil terus mengunyah
permen karet yang baru dibeli oleh Ethan tadi, menikmati hujan dengan angin
yang semakin kencang.
“Dulu
aku punya seorang pacar.”
Matanya
menerawang jauh, coba mengingat-ngingat apa yang pernah di alaminya. Sementara
itu, Ethan sudah menunggu sedari tadi apa cerita selanjutnya dengan penasaran.
“Terus??”
“Saat
itu aku benar-benar terbuai angan-angan cinta.” Ichsan menghentikan ceritanya.
“Maksudnya?”
Ethan meminta penjelasan.
“Aku
tak tau itu perasaan yang gimana? Entah hanya sekedar cinta monyet atau cinta
yang sesungguhnya. Aku begitu larut dalam cinta itu. Aku seakan hidup di dunia
dongeng yang dipenuhi oleh kasih sayang.” Ichsan menatap ke arah hujan dengan
mata yang begitu dingin.
“Really??
Gumannya pelan. “Terus?” sambil terus mengunyah permen karet.
“Ya..
begitulah. Aku merasa bahagia saat di sisinya. Saat itu, dialah segalanya. Dia
cinta pertamaku.” Jawab Ichsan lirih.
“Kemudian
apa yang terjadi pada kalian berdua?”
“Dia
meninggalkanku.. haha..” dengan tertawa yang dipaksa.
“Aku
serius San!”
“Aku
juga serius. Dia mengkhianati cintaku. Dia lebih memilih orang lain daripada
aku dan mungkin memang itulah yang terbaik. Ya.. Cuma gitu aja.”
“Gimana
perasaanmu saat itu?”
“Ya,
sedihlah.” Ichsan tersenyum sekali lagi.
“Lalu
sekarang? Di mana dia?”
“Dia
sekolah lah. Dia sekolah di Jawa dan mungkin sudah pacar baru lagi.” Ichsan
tersenyum kecut.
“Apa
kamu begitu mencintainya?”
“Ya..
aku sangat teramat mencintainya.”
“Kenapa
kau tidak mengejarnya?”
“Kenapa
yah? Aku juga tidak mengerti. Aku mencintainya, tapi tidak bisa
mempertahankannya. Lagian, dia sudah tidak mencintai aku lagi. Jadi, biarlah
ini menjadi sebuah kenangan indah yang sudah terkubur dalam-dalam.”
Ethan
hanya terdiam tak bisa berkata apa-apa sambil melihat tatapan Ichsan yang
menerawang jauh kisah masa lalunya. “Lalu gimana sekarang perasaanmu?”
lanjutnya pelan.
“Jalani
saja hidupku sekarang. Aku tau akan ada seorang yang kan menjadi pengisi hatiku
lagi, tapi kali ini untuk selamanya.” Ichsan menunduk.
“Kenapa
gak cari lagi? Banyak gadis cantik juga di sekolah kita.”
“Dia
pasti akan datang. Kami bisa saling menemukan. Itu saja.. haha.” Ichsan
tertawa.
Ethan
manggut-manggut tanda sependapat dengan pernyataan Ichsan, “Saat kalian
berpisah apa kamu benar-benar sedih? Merasa kehilangan yang penting dalam
hidupmu?” tanya Ethan melanjutkan obrolan.
“Iya..
bahkan kalau imanku sudah jatuh. Aku mungkin sudah bunuh diri.” jawab Ichsan
singkat.
“Serius?”
Ethan seakan tidak percaya.
“Iya..
tapi apa kamu percaya dengan ceritaku?” Ichsan balik bertanya. Ichsan hanya
tersenyum melihat Ethan yang tidak menjawab pertanyaannya malah seketika
melamun.
“Apa
kamu pernah benar-benar mencintai seseorang?” giliran Ichsan yang bertanya.
“Menyinggung
banget pertanyaan kamu.” jawab Ethan sedikit kesal.
“Maaf..
Maaf. Soalnya aku liat kamu punya banyak pacar.” lanjut Ichsan.
“Menikmati
masa muda dulu lah. Haha..” sahut Ethan singkat.
“Ogh..
Begitu yah.”
Sudah
hampir habis semua permen karet yang baru dibelinya. Ichsan dan Ethan masih
sama-sama terdiam berkelana jauh mengejar kisah mereka berdua. Kisah yang
datang dan pergi. Kisah yang sudah meninggalkan mereka terutama kisah Ichsan.
“Apa
Karan dan Reza punya pacar ya… San?”
“Sepertinya
belum lagi. Kamu bisa lihat sendiri kan?”
“Maksudnya?”
Ethan tampak bingung dengan jawaban Ichsan.
“Ya..
Karan baru putus sama pacarnya dan sekarang sedang galau-galaunya. Sedangkan,
si Reza takut nyatain perasaannya sama cewek yang disukainya. Cinta dalam hati
lah.” Ichsan tersenyum mengingat sahabat-sahabatnya yang pada galau.
“Eh..
udah bel tuh. Kalau ceritanya dilanjutin mungkin tidak ada habisnya. Masuk
kelas yuk!”
Ethan
beranjak dari tempat itu dan Ichsan hanya mengikutinya dari belakang sambil
bersiul-siul memanggil sahabatnya yang lain yang ada di pojok kelas. Mereka
melangkah menuju bangku masing-masing dan duduk tenang.
Angin
pagi bertambah dingin karena cuaca begitu mendung dan sedang hujan deras di
luar. Memaksa siswa lebih berkonsentrasi menghadang riuhnya hujan. Awan gelap
kian membuat langit begitu kelam membuat bulu kuduk merinding. Mungkin juga
menusuk ke sela-sela tulang siswa-siswa tersebut. Memaksa mereka bernafas lebih
cepat untuk menghindari kedinginan. Mencerna pelajaran dengan teliti dan
menjadikannya ilmu yang bermanfaat. Langkah awal dari mereka menuju suatu
tujuan hidup yang sebenarnya. Semua masih belum menemukan apa-apa, semua hanya
terus mencari.
Begitu
juga dengan kedua sahabat itu, yang sesungguhnya mereka cari belum juga
ditemukan. Apakah kebahagiaan sejati akan bisa mereka dapatkan? Apakah mereka
mampu bertahan dalam kehidupan yang penuh tipu daya dan ilusi antar sesama
manusia. Belum lagi, alam yang semakin tidak bersahabat karena keegoisan
manusia. Dan juga ekonomi yang kian mencekik dan membelenggu. Apakah tidak ada
hak untuk selalu tertawa dan tersenyum? Atau hanya tertawaan dan senyuman yang
begitu dipaksakan? Apakah penghangat ruangan hanya akan selalu jadi penghangat
dari kedinginan bagi orang-orang kaya?
DUA
Setelah
menyelesaikan mata pelajaran, semua siswa istirahat sejenak. Ada yang ke kantin
dan ada juga yang hanya diam di kelas menunggu pelajaran selanjutnya sambil
mendengarkan lagu.
“San..
ke keantin yuk. Aku yang traktir kali ini!” Ethan menawarkan kepada Ichsan.
“Karan
dan Reza ga kamu ajak?” Ichsan menengok ke belakang menuju sahabatnya yang
lain.
“Lihat
tuh, Karan lagi ngapain. Dia itu lagi full galau, ga bisa diganggu.”
“Gimana
dengan Reza?” Ichsan masih belum beranjak dari tempat duduknya.
“Reza
udah bawa bekal, jadi makannya di sini aja. Ayolah! Mau bel lagi tuh!” Ethan
mulai berjalan ke pintu.
“Ok.
Aku ikut.”
“Ayo
cepat, San!”
“Hmm..
kamu yang traktir kan? Tumben kamu neraktir. Biasa minta di traktir mulu.”
Ichsan kembalikan menanyakan hal tersebut.
“Iya.
Iya.” Arif merangkul sahabatnya tersebut.
“Kesambet
dewi apa kamu? Tumben bener mau neraktir aku! Haha..” lanjut Ichsan sambil
berjalan berdua dengan Ethan.
“Hah..
kesambet? Aku kan memang baik, Cuma jarang kamu lihat kebaikanku. Wkwk..” Ethan
menyombongkan diri.
“Makan
yang mahalan ah!” Ichsan menggumang.
“Ya..
terserah kamu sob. Kan aku yang traktir.”
“Okelah
kalau begitu. Aku takkan ragu melahap habis semua makanan yang ada di kantin.”
Beberapa
saat kemudian, mereka sudah sampai di kantin sekolah dan langsung mengambil
tempat kosong di pojok kantin. Ichsan melangkah ke arah meja tersebut dan
memberikan sedikit senyuman kepada teman-temannya yang sudah makan duluan.
Sedangkan, Ethan memesan makanan untuk mereka. Setelah cukup lama menunggu,
akhirnya Ethan datang dengan dua porsi nasi goreng lengkap dengan lauk-pauk
ayam goreng dan sedikit acar.
“Kok
lama banget sih?” Ichsan tampak heran.
“Hey.
Hey. Lihat tuh! Ramai banget tau. Ya jelas aja lama.” Ethan tersenyum.
“Okok.
Buruan makannya. Sudah hampir masuk juga.”
Mereka
lalu melahap habis semua makanan dengan porsi yang lumayan itu. Ichsan dan
Ethan kelihatan sangat menikmatinya atau mungkin mereka lagi dalam keadaan
lapar tingkat waspada.
“Ethan..
seandainya pacar kamu berada satu sekolah sama kita. Mungkin aja kamu ga pernah
ngajak makan aku kayak gini.”
“Ya
jelas, gak bakal lah. Sahabat adalah segalanya dan pacar bisa begitu menyiksa
dan membuat repot.” Ethan menghela nafas panjang.
“Kamu
kenapa? Ada masalah dengan pacarmu?”
“Entahlah,
aku juga ga tau San.”
Ichsan
menepiskan piring kosong di hadapannya. Diambilnya air mineral yang ada
didepannya lalu menenggaknya hingga habis. Ethan masih mengamati teman-teman
cewek yang ada di sekitarnya.
Setelah
itu, lagi-lagi pemuda ini menghela nafas.
“Sebenarnya
aku ingin sekali mencintai seseorang dengan seutuhnya.” Ethan memainkan pipet
dan menusuk-nusukkannya ke gelas air mineral.
“Tapi?”
tanya Ichsan penasaran.
“Aku
belum menemukan cewek yang juga benar-benar tulus cinta sama aku.” sahutnya
lagi.
Mereka
berdua kembali terdiam di meja kantin tersebut sementara siswa lain sudah mulai
meninggalkan tempat tersebut dan kembali ke kelas masing-masing.
“Ke
kelas yuk!”
Pertanyaan
itulah yang menyadarkan Ichsan dari ketermenungannya. Matanya kini tak lagi
kosong, ada yang berbeda saat itu.
“Ogh..
Okok. Udah bel juga.”
Kedua
sahabat itu kini telah berjalan kembali ke kelas mereka. Hanya kali ini, tidak
ada lagi suara tawa dan canda. Mereka membisu dan hanya berjalan hingga
akhirnya mereka sampai di kelas mereka. Ternyata gurunya sudah masuk.
“Siang,
Pak! Maaf kami agak terlambat!” celetuk Ethan ketika sampai di depan pintu.
“Ya..
silahkan duduk. Awas kalau terlambat lagi.” kata Pak Lim, guru Fisika mereka.
“Terima
kasih, Pak!” sahut mereka berdua.
Mereka
lalu duduk di kursinya masing-masing. Di ruang kelas tempat mereka menimba ilmu
dengan kursi dan meja tua, di bangunan yang umurnya sudah lebih dari setengah
abad tapi tetap kokoh berdiri.
Ruang
kelas dan sekolah yang akan mereka tinggalkan sebentar lagi. Dengan banyak suka
dan duka di dalamnya. Sekolah yang mengajarkan mereka tentang cinta dan
persahabatan. Sekolah yang berada di posisi strategis dengan cat warna putih
bersih di padu hijau membuat sekolah ini seakan menyatu dengan alam.
Memang
rasanya akan sangat aneh jika tidak lagi merasakan suasana sekolah itu. Tapi,
mereka yang ada di dalamnya punya tujuan hidup yang harus mereka kejar termasuk
keempat sahabat tersebut. Ichsan adalah pemuda yang baik, diusianya yang
ketujuhbelas ini dia sudah banyak memahami arti kenapa dia dilahirkan. Dia suka
bermain basket dan ramah tapi teman-temannya menganggap dia begitu misterius.
Karan yang anak orang kaya itu juga tidak sombong, selalu rapi dan trendy
kemanapun dia pergi. Reza juga sangat ramah kepada orang-ornag di sekitarnya,
suka humor dan hobi jalan-jalan dengan naik sepeda. Dia juga sopan dalam
bertutur kata dan selalu menghormati siapa saja. Begitu juga dengan Ethan,
meskipun dia seorang yang sudah beberapa kali pacaran, tapi dia tidak pernah
mengesampingkan sahabat-sahabatnya.
Seringkali
mereka berempat jalan-jalan sambil bercanda, sebuah persahabatan yang indah.
Dari beberapa tempat berbeda, mereka bertemu di satu sekolah yang sama dan
menjadi teman. Itulah mereka, walau tanpa cinta yang benar-benar tulus dari
seorang gadis tetap tersenyum dengan semangat yang sama. Sukses menurut ukuran
masing-masing. Menurut mimpi mereka masing-masing.
TIGA
Keesokan
harinya sepulang sekolah. Semua siswa sudah pulang, namun Ichsan masih belum
pulang juga. Bermain basket sendirian di cuaca yang mendung, mengamati langit
yang akan segera menumpahkan isinya, mengamatinya sesaat lewat jendela yang
cukup luas. Lalu pemuda itu hanya bisa tersenyum sambil bermain basket kembali.
“San..
sudah sore kok belum pulang?”
Reza
membuka pintu GOR sekolah. Tersenyum sesaat lalu melangkahkan kakinya menuju
kursi penonton di sebelah utara gedung tersebut. Reza memandang sahabatnya
dengan tatapan yang cukup tajam sebelum mengalihkan pandangannya ke sebuah
poster di sisi dinding lainnya.
“Eh..
kamu Reza. Dari mana? Kok belum pulang juga?”
Ichsan
berhenti bermain basket, lalu ikut duduk.
“Dari
bimbingan. Aku dapat bimbingan konseling dari sekolah, ngapain di sini?”
sambung Reza.
Reza
lalu mengambil bola basket yang di bawa Ichsan, kemudian memutar-mutarnya di
jarinya.
“Ah..
nggak, cuma mau main basket aja.” kemudian dia menyodorkan sekaleng minuman
soda ke Reza.
“Pulang
yuk! Ngapain juga di sini?” sembari tersenyum. Tangannya lincah memainkan bola.
“Ntar
aja ah.. Kalau kamu mau pulang duluan. Pulang aja sana! Aku baik-baik aja kok.”
“Apa
yang akan kamu lakukan di sini terus, Sob?”
“Main
basket aja. Pas mau maghrib baru aku pulang. Aku juga tak akan lupa kewajibanku
kok.” Ichsan mengambil bola basket dari tangan Reza sambil tersenyum simpul.
“Kamu
ga ada tugas??”
“Ada
sih.. tapi, ntar malam deh aku kerjainnya.”
Reza
lalu ikut masuk ke lapangan basket. Ikut bermain dengan sahabatnya tersebut.
Hanya suara guntur yang semakin kencang terdengar pertanda akan hujan. Awan
kian kelam dan udara semakin dingin yang diiringi tiupan angin kencang.
“San,
aku pulang duluan yah!” Reza pamit diri.
“Ogh
iya. Hati-hati ya Sob. Salam buat Ibu mu!” Ichsan tersenyum pada sahabatnya
tersebut, mereka sungguh saling memahami. Seperti saudara yang sedang menimbang
perasaan untuk lebih bisa saling melengkapi.
“Tidak
apa-apa nih aku duluan?”
“Kalau
kamu pergi sekarang, apa kamu masih mau menjadi sahabatku?”
Reza
tersentak terdiam mengamati Ichsan yang asyik bermain basket. Memandang sedalam
mungkin ke matanya, sepertinya dia menelusuri perlahan benak sahabatnya itu.
Mencari arti pertanyaan yang baru saja terlontar. Terdengar seperti gurauan
tapi ini serius bagi Ichsan. Dan angin pun mengangguk mengiyakan. Belum lagi
hujan yang mulai turun, terkesan dramatis tapi ini nyata.
“Aku
pasti akan selalu jadi sahabatmu. Kamu hanya perlu percaya!”
Sepertinya
Reza yakin benar kalau Ichsan memang tidak sekedar bergurau. Setiap ucapan
Ichsan pasti mengandung makna di pikirannya. Semua memang terkesan aneh dan tak
biasa. Tapi, itulah Ichsan. Seperti laut yang tenang namun menyimpan jutaan
pesona bahkan bisa menghancurkan. Seperti semut yang hanya berjalan hilir mudik
snediri, hanya saja selalu singgah untuk menyapa teman-temannya. Atau seperti
langit yang penuh dengan misteri yang menakjubkan tapi tetap menenangkan.
“Kenapa?” tanya Ichsan singkat.
“Gak
apa-apa. Assalamu alaikum.” sahut Reza.
“Ok.
Wa alaikum salam.”
Reza
meninggalkan ruangan itu dengan langkahnya yang sedikit ragu. Sementara itu,
Ichsan menikmati permainan basketnya walalupun hanya sendiri. Hari semakin sore
dan Ichsan memutuskan untuk berhenti. Sebagai umat-Nya yang taat dia lalu
melaksanakan kewajibannya dengan hikmat. Setelah selesai, meskipun hujan deras
dia tetap berjalan ke gerbang sekolah dan di sana dia bertemu seorang gadis.
“Baru
pulang Ichsan?” tanya gadis tersebut.
“Ah?
Aku. Hmm.. iya, aku baru mau pulang nih.” Ichsan tampak bingung karena dia tak
mengenal gadis tersebut.
“Kamu
basah kuyub. Haha..”
“Hem.
Iya nih.. tadi juga habis main basket, jadi pas kena hujan terasa seger
banget.”
“Ogh..
Hmm. Kamu pasti bingung siapa aku? Aku itu siswa pindahan dari Jawa Tengah.
Namaku Aulia Kirana. Aku tau kamu dari teman kelasku.”
“Ogh..
macam itu.” jawab Ichsan dengan cueknya.
Mereka
terdiam sesaat.
“Ngapain
di sini? Belum pulang juga?” lanjut Ichsan.
“Iya.
Aku malas di rumah melulu.” jawab Aulia singkat.
“Ya..
aku juga sering males kalau di rumah melulu. Kamu ga dicariin orang rumah tuh?
Nanti mereka cemas loh mikirin kamu, apalgi kamu itu cewek.”
“Aku
lebih percaya mereka gak peduli. Mereka ka nada di luar negeri. Sibuk ama
pekerjaan mereka.” kata Aulia sedih.
“Ogh..
mereka kerja yah?” tegas Ichsan.
“Yuup..
mereka sibuk sampai ga inget sama anak mereka.”
“Kok
kamu ngomong kayak gitu sih?” tanya Ichsan lagi.
“Yaa..
emang kayak gitu kali.” Sahut Aulia lirih.
“Kamu
anak tunggal yah?”
“Iya,
tapi aku merasa bukan anak siapa-siapa.”
“Seandainya
bagi mereka kamu lebih penting dari nyawa mereka? Ichsan meyakinkan wanita yang
baru dikenalnya 5 menit yang lalu.”
“Maka
aku akan jadi orang yang pertama menangisi mereka.”
“Kenapa?”
“Karena
aku telah menyangka yang bukan-bukan tentang mereka selama ini. Aku menganggap
mereka ga peduli sama aku, meninggalkanku dan tak mengasihi aku lagi saking
sibuknya dengan pekerjaan mereka. Eh.. kok aku malah curhat ke kamu sih? Maaf
maaf.” Aulia menyadari tingkahnya.
“Ha..ha..
memang gak boleh curhat?? Ga masalah lagi. Aku bisa kok jadi pendengar yang
baik.”
“Kenapa
tertawa San? Aku kan baru kenal kamu. Kok malah langsung curhat-curhatan sama
kamu. Aku kan ga enak.”
“Semua
tergantung kamunya aja! Tapi aku dengan senang hati akan menjadi teman
curhatmu. Menjadi sahabatmu.”
“Tapi
apapun yang kita alami, pastilah telah diperhitungkan oleh Sang Pencipta.”
“Tentang
persahabatan, percintaan dan kematian?”
“Iya,
benar sekali.” Sahut Aulia yakin.”
“Aku
suka itu Teman. Aku suka.”
Sepertinya
hujan yang deras tadi perlahan telah menampakkan pelangi yang indah. Awan kelam
yang tadinya menutupi langit perlahan bergeser. Langit kemerahan pertanda senja
telah tampak dan mengiringi niat sahabat yang baru saja terjalin untuk
melangkahkan kakinya pulang ke rumah.
“San..
aku pulang dulu ya!” Aulia melangkah keluar dari gerbang sekolah.
“Ogh..
iya, hati-hati di jalan yah!”
“Iya.
Kamu juga, see you tomorrow.” Aulia meninggalkan tempat itu, melambaikan tangan
ke Ichsan dan berlalu.
EMPAT
Ichsan
juga melangkahkan kakinya kembali ke rumahnya. Membiarkan tetes hujan membasahi
tubuhnya. Hujan rintik-rintik mengiringi langkahnya. Hampir lima belas menit
dia melangkah. Tiba-tiba dia sudah sampai di rumahnya yang sangat sederhana
itu. Pemuda itu lalu merebahkan tubuhnya di ranjang, istirahat sejenak sebelum
kembali mengerjakan kewajibannya. Mengingat satu demi satu apa yang telah dilaluinya
hari ini. Dengan senyumnya yang khas, dia lalu bangun dan turun dari ranjang
lalu mengerjakan kewajibannya.
“San…
bangun, ada guru tuh!” Ethan mencoba membangunkan Ichsan yang tidur di atas
meja kelas.
“Hah?
Iya, aku bangun.” jawab Ichsan sambil merapikan bajunya.
“Tumben
kamu molor di sekolah?”
Ichsan
tidak menjawab, tapi hanya serius memperhatikan gurunya yang sedang
menerangkan.
“Kamu
ngerjain PR gak?”
“Udah
kok.” sahutnya dengan nada biasa.
“Ya
sudah. Baguslah kalau gitu.” Ethan kemudian kembali memperhatikan gurunya.
“Mana
Et?” tanya Karan.
“Apa
Ran?”
“PR
kamu.”
“Nih
ada, udah aku kerjain juga.”
“Haha..
baguslah. Kirain kamu ga kerja lagi.” celetuk Karan cepat.
Sepertinya
keempat sahabat ini sudah sangat tahu kebiasaan masing-masing. Ethan, Reza,
Karan, dan Ichsan adalah pemuda sebaya dengan kekompakan dan kompetensi tinggi.
Meskipun mereka sahabatan tapi mereka tidak suka saling nyontek. Mereka
mengikuti pelajaran dengan baik hingga akhirnya bel berbunyi tanda istirahat.
“Ada
yang aneh pada diri Ichsan akhir-akhir ini?” Karan berjalan keluar menuju
kantin sekolah diikuti Ethan dan Reza meninggalkan Ichsan yang lagi mengerjakan
tugas yang diberikan oleh guru mereka.
“Ah..
Ran, seperti tidak tau siapa dia saja?”
“Tapi
Ethan, dia sekarang semakin dingin!”
“Mungkin
dia lagi ga mood kali.”
“Emang
apa yang udah terjadi?”
“Biasa,
teringat masa lalu dia mungkin”
“Oh..
pantes aja, belakangan ini dia sering melamun.”
“Reza,
kenapa kamu hanya diam saja?” Ethan melihat ke arah Reza yang hanya terdiam
sambil terus berjalan menikmati music di hapenya.
“Apa
kalian percaya dengan cinta sejati?”
Kedua
temannya hanya diam, tidak langsung menjawab pertanyaan Reza.
“Kalau
aku sih.. percaya.” Ethan memberi sebuah jawaban.
“Kalau
kamu Karan?” Reza menatap Karan dengan tajam.
“Percaya,
hanya saja cinta sejati takkan ada jika tidak diperjuangkan.”
“Maksudnya?”
tanya Reza belum puas dengan jawaban singkat itu.
“Ya..
ketika kita mendapatkannya jangan pernah lepaskan dia! Yakinlah bahwa kalian
diciptakan memang untuk bersama. Meski harus melepasnya untuk memberinya
kesempatan mencari yang lebih baik, percayalah dia akan kembali untukmu karena
dialah jodohmu. Cinta sejatimu.”
Mereka
saling melihat, terdiam lalu tertawa.
“Ha…
Ha.. berarti kita harus mulai mencari sekarang!” Karan lalu tertawa.
“Reza..
Reza.. memang mudah cari kekasih? Memang mudah mencari cinta? Kalau yang kita
harapkan bukan dari pacar kita lalu bagaimana?” Ethan memberikan pertanyaan di
sela candaannya.
“Berusaha
tidak ada salahnya Et.” sanggah Reza lagi.
“Tidak
usah berdebat, itu masalah gampang.” celetuk Karan.
“Masalah
gampang Karan?”
“Iya,
mungkin kita saja yang tidak sadar kalau banyak cewek di sekolah ini yang
naksir sama kita-kita?”
“Putri
itu tidak datang bila kita tidak mencarinya.” guman Karan sesaat kemudian.
“Ha..
ha.. mungkin juga ya?” Ethan seakan bertanya pada dirinya sendiri.
Sedangkan
Karan hanya bisa tersenyum simpul sambil memandang kedua sahabatnya itu.
“Sudah
ah.. pagi-pagi yang dibahas malah cinta-cintaan!” ungkap Karan hendak menutup
pembicaraan.
“Ye..
siapa yang mulai juga?” bantah Ethan.
“Iya,
tapi batal.” Karan pura-pura sewot.
“Ha..
Ha..” mereka bertiga tertawa bersamaan.
“Sudah
ah. Kita masuk kelas aja yuk!” Karan kemudian membayar semua cemilan yang sudah
di makannya di kantin.
Setelah
mereka semua selesai makan, mereka kembali ke kelas mereka. Sedangkan Ichsan
masih sibuk dengan tugas yang diberikan oleh gurunya. Menikmati setiap keringat
yang mulai mengucur membasahi lehernya. Atau barangkali dia telah sangat lapar
karena belum diberi kesempatan untuk beristirahat sebelum kerjaannya selesai.
Memulai kembali pelajaran yang tertunda hingga akhirnya bel berbunyi dengan
kencang.
LIMA
“Et,
kamu tadi dicari Ichsan!” Karan menghampiri Ethan.
“Katanya
tadi dia pulang duluan?”
“Mungkin
berubah fikiran, aku baru saja ketemu dia di lapangan basket.”
“Dia
masih di sana Karan?”
“Iya,
ku lihat dia lagi asyk main basket.”
“Aku
ke sana dulu ya!”
“Oke
bro.”
Ethan
lalu kembali masuk ke halaman sekolah itu, menyusuri jalan berdebu menuju
lapangan basket. Beberapa kali dia menyapa teman yang berpapasan dengannya.
“Ada
apa San?” Ethan langsung menyapa Ichsan yang sedang asyik bermain basket
sendirian.
“Eh..
kamu masih inget dengan cewek yang kamu kira pacarku?”
“Iya,
masih. Kalian beneran pacaran ya?” sambil berteriak dengan gaya kaget yang
dipaksakan.
“Hus..
jangan ngomong sembarangan!”
“Kenapa?”
“Nanti
ada yang denger terus salah paham lagi. Kan ga lucu!”
“Kenapa?”
“Malu.”
“Ah…kamu
sih, punya komputer cuma bisa buat ngetik doang, gaul dong!”
“Ah…iya-iya,
bisa nggak?”
“Bisa,
kapan?” jawab Jack meyakinkan Han.
“Tahun
depan!’’
“Ceileh…ngambek
nich?” goda Jack.
“Bisa
nggak?”
“Aku
masih ada satu mata kuliah lagi.”
“Ya
sudah, aku menunggu disini!”
“Kamu
mau nungguin aku?” Jack tampak tidak yakin.
“Iya,
emang kenapa?”
“Tumben,
sepenting apakah e-mail itu?”