Jumat, 21 Desember 2012

Novel Edisi Pertama



SATU
Dinginnya angin pagi membangunkan diri dari mimpi yang penuh tanda tanya. Pagi yang mendung mengawali langkah kaki. Beberapa saat lagi mungkin akan segera turun hujan  yang kan menghiasi hari ini. Tak lupa, angin kencang pada musim hujan saat ini. Semuanya berlangsung seperti yang sudah-sudah. Kisah dongeng tentang indahnya hari seakan menjadi kenyataan. Angan-angan dan harapan siap diraih dengan senyuman. Canda, tawa, dan terutama kebahagiaan. Hmm.. di mana keraguan yang biasa menyelimuti, atau di mana kesedihan dan kegalauan itu? Semuanya kini telah hilang disambut hanya dengan cinta.
                Jam 5 subuh Ichsan telah terbangun, meregangkan tangan dan kaki. Tersenyum manis melihat bahwa dia tidak telat bangun untuk ke mesjid. Menuju kamar mandi menjadi pilihan tepat, menikmati dinginnya air yang membasahi tubuh dengan diiringi lagu Rindu by Agnes Monica melalui handphone. Setelah selesai mandi, pemuda itu mulai menyiapkan diri untuk ke mesjid. Setelah baju koko dan celana kain siap, pemuda itu langsung berangkat.
                “Bu, aku ke mesjid dulu yah! Assalamu alaikum.” katanya kepada Ibunya yang sedang menyiapkan sarapan.
                “Hmm.. iya. Wa’alaikum salam. Hati-hati yah!” masih sambil menyiapkan nasi goreng.
                “Okok..” cara bicaranya kalem, cool, dan penuh kedamaian membuat gerimis seketika menghilang. Setelah selesai melaksanakan sholat subuh, Ichsan melangkah pulang dari mesjid. Benar-benar pagi yang dingin. Beberapa saat kemudian dia sudah sampai di rumah kemudian langsung menyantap nasi goreng buatan ibunya. Setelah itu, dia kemudian bersiap-siap untuk ke sekolah.
                “Bu.. berangkat dulu ya!” ucap Ichsan sambil tersenyum.
                “Udah selesai sarapannya?” tanya Ibu.
                “Hmm.. iya. Assalamu alaikum.” sahut Ichsan dari balik pintu.
                “Ya.. hati-hati. Wa’alaikum salam.” sambil melambaikan tangan.
                Sesampainya di sekolah, Ichsan langsung di sambut oleh celotekan Ethan. Di sana juga ada Karan dan Reza tapi agak jauh dari mereka berdua. Mereka adalah sahabat baik sejak kelas X dan sekarang mereka sudah kelas XII di salah satu sekolah menengah atas di Makassar.  Ichsan dan Ethan lalu duduk di depan kelas mereka sambil bersilah. Keduanya ngobrol sebelum bel masuk berbunyi.
                “Hari ini hujan lagi yah? Bosan aku kebasahan mulu kalau ke sekolah di musim hujan.” Ethan mengawali obrolan pagi itu.
                “Jelas hujan lah. Namanya aja musim hujan. Gimana sih?” Ichsan tampak menggaruk-garuk kepalanya, bingung.
                “Ya.. aku tau sih kalau musim hujan. Tapi, sekarang kan lagi global warming. Cuaca ga tentu, sob.”
                “Iyaiya. Aku tau kok. Pasrah aja kali, hujan ya hujan. Kalau ga mau kebasahan, ya pake jas hujan ke sekolah. Susah begitu.” Ichsan tersenyum kecil melihat tingkah sahabatnya itu.
“Hey, kamu suka hujan gak?” tanya Ethan cepat.
                “Iya, sangat suka malahan. Kenapa emang?” Ichsan memberikan suatu jawaban.
                “Ogh.. kenapa suka sekali sama hujan? Apa menariknya hujan?” tanya Ethan lagi.
                “Sebuah amarah bisa dihapus oleh hujan. Hujan dapat mendinginkan api batinku.” jawab Ichsan sambil menatap hujan yang sudah makin deras.
                “Just it?” tanya Ethan sekali lagi.
                “Entahlah.. mungkin masih banyak lagi, tp aku ga tau cara membahasakannya…..”
                Suasana hening beberapa saat.
                “Permen karetku tadi mana yah?” Ethan kemudian berdiri sambil mencari-cari di saku celananya.
                “Habis mungkin sudah kau makan semua. Beli lagi sana!” Ichsan menyodorkan uang.
                Beberapa saat kemudian Ethan muncul dengan banyak permen karet yang memenuhi saku depannya. Duduk kembali di tempat yang sama. Sahabat yang sungguh mengagumkan. Selalu menjadi teman terbaik di semua keadaan. Walau kadang sering bikin kesal.
                “Kita ngobrol di dalam kelas Ichsan!”
                “Ga mau ah, lagi menikmati hujan nih. Lagian di dalam situasinya bising banget, sampe bikin jatuh volume derasnya hujan. Ha.. ha..” Ichsan tertawa kecil.
                Ethan tidak ikut tertawa. Pemuda itu hanya menatap tajam Ichsan yang masih ngakak. Sesaat suasana menjadi hening. Lalu suara hujan kian beradu dengan bisingnya gosip-gosip cewek di dalam kelas.
                “Kamu punya pacar baru kan? Namanya siapa?” Ethan membuka kebisuan itu.
                “Pacar baru, yang mana?”
                “Yang kemarin itu! Yang melambaikan tangan sama kamu sambil senyum-senyum.” tersenyum seakan mengejek Ichsan.
                “Oh.. dia bukan pacarku, tapi teman yang baru ku kenal.” Ichsan memberikan penjelasan.
                “Kamu itu pinter, baik, lumayan cakep lah, pokoknya bisa lah, tapi..?” Ethan mendadak berhenti bicara.
                “Tapi kenapa?”
                “Tidak bisa mendapat seorang pacar. Haha..!” Ethan tertawa.
                Mereka berdua tertawa. Entah gimana suara tertawaan itu? Mungkin hanya sebagai penghangat suasana dalam dinginnya hujan saat itu.
                “Emang situ. Baru putus seminggu yang lalu, sorenya sudah gandeng cewek baru. Dasar playboy!” Ichsan membuat pernyataan.
                “Nah.. itulah. Aku pengen double date ma kamu, sob!”
                “Hahaha..” Ichsan spontan tertawa.
                Ketika Ichsan sudah berhenti tertawa. Suasana hening seketika. Cukup lama mereka terdiam. Mengembara jauh ke angan-angan cinta.
                “Kamu pernah pacaran? Cerita-cerita dong, sob!” tanya Ethan mengusir hening.
                “Kalau aku cerita apa kamu akan percaya?”
                “Percaya. Aku tau kamu bukan seorang pembohong.” Ethan tersenyum kecil.
                “Dari mana kamu tau?” Ichsan coba meyakinkan hatinya.
                “Kita udah hampir 3 tahun sekelas, lagian kamu adalah sahabatku. Menurutku, bahkan juga menurut teman-teman yang lain kamu itu orang yang sangat misterius dan punya banyak cerita yang kau pendam sendiri.” Ethan memberikan sebuah penjelasan.
                Sebelum memulai ceritanya. Ichsan mengangguk-anggukkan kepala sambil terus mengunyah permen karet yang baru dibeli oleh Ethan tadi, menikmati hujan dengan angin yang semakin kencang.
                “Dulu aku punya seorang pacar.”
                Matanya menerawang jauh, coba mengingat-ngingat apa yang pernah di alaminya. Sementara itu, Ethan sudah menunggu sedari tadi apa cerita selanjutnya dengan penasaran.
                “Terus??”
                “Saat itu aku benar-benar terbuai angan-angan cinta.” Ichsan menghentikan ceritanya.
                “Maksudnya?” Ethan meminta penjelasan.
                “Aku tak tau itu perasaan yang gimana? Entah hanya sekedar cinta monyet atau cinta yang sesungguhnya. Aku begitu larut dalam cinta itu. Aku seakan hidup di dunia dongeng yang dipenuhi oleh kasih sayang.” Ichsan menatap ke arah hujan dengan mata yang begitu dingin.
                “Really?? Gumannya pelan. “Terus?” sambil terus mengunyah permen karet.
                “Ya.. begitulah. Aku merasa bahagia saat di sisinya. Saat itu, dialah segalanya. Dia cinta pertamaku.” Jawab Ichsan lirih.
                “Kemudian apa yang terjadi pada kalian berdua?”
                “Dia meninggalkanku.. haha..” dengan tertawa yang dipaksa.
                “Aku serius San!”
                “Aku juga serius. Dia mengkhianati cintaku. Dia lebih memilih orang lain daripada aku dan mungkin memang itulah yang terbaik. Ya.. Cuma gitu aja.”
                “Gimana perasaanmu saat itu?”
                “Ya, sedihlah.” Ichsan tersenyum sekali lagi.
                “Lalu sekarang? Di mana dia?”
                “Dia sekolah lah. Dia sekolah di Jawa dan mungkin sudah pacar baru lagi.” Ichsan tersenyum kecut.
                “Apa kamu begitu mencintainya?”
                “Ya.. aku sangat teramat mencintainya.”
                “Kenapa kau tidak mengejarnya?”
                “Kenapa yah? Aku juga tidak mengerti. Aku mencintainya, tapi tidak bisa mempertahankannya. Lagian, dia sudah tidak mencintai aku lagi. Jadi, biarlah ini menjadi sebuah kenangan indah yang sudah terkubur dalam-dalam.”
                Ethan hanya terdiam tak bisa berkata apa-apa sambil melihat tatapan Ichsan yang menerawang jauh kisah masa lalunya. “Lalu gimana sekarang perasaanmu?” lanjutnya pelan.
                “Jalani saja hidupku sekarang. Aku tau akan ada seorang yang kan menjadi pengisi hatiku lagi, tapi kali ini untuk selamanya.” Ichsan menunduk.
                “Kenapa gak cari lagi? Banyak gadis cantik juga di sekolah kita.”
                “Dia pasti akan datang. Kami bisa saling menemukan. Itu saja.. haha.” Ichsan tertawa.
                Ethan manggut-manggut tanda sependapat dengan pernyataan Ichsan, “Saat kalian berpisah apa kamu benar-benar sedih? Merasa kehilangan yang penting dalam hidupmu?” tanya Ethan melanjutkan obrolan.
                “Iya.. bahkan kalau imanku sudah jatuh. Aku mungkin sudah bunuh diri.” jawab Ichsan singkat.
                “Serius?” Ethan seakan tidak percaya.
                “Iya.. tapi apa kamu percaya dengan ceritaku?” Ichsan balik bertanya. Ichsan hanya tersenyum melihat Ethan yang tidak menjawab pertanyaannya malah seketika melamun.
                “Apa kamu pernah benar-benar mencintai seseorang?” giliran Ichsan yang bertanya.
                “Menyinggung banget pertanyaan kamu.” jawab Ethan sedikit kesal.
                “Maaf.. Maaf. Soalnya aku liat kamu punya banyak pacar.” lanjut Ichsan.
                “Menikmati masa muda dulu lah. Haha..” sahut Ethan singkat.
                “Ogh.. Begitu yah.”
                Sudah hampir habis semua permen karet yang baru dibelinya. Ichsan dan Ethan masih sama-sama terdiam berkelana jauh mengejar kisah mereka berdua. Kisah yang datang dan pergi. Kisah yang sudah meninggalkan mereka terutama kisah Ichsan.
                “Apa Karan dan Reza punya pacar ya… San?”
                “Sepertinya belum lagi. Kamu bisa lihat sendiri kan?”
                “Maksudnya?” Ethan tampak bingung dengan jawaban Ichsan.
                “Ya.. Karan baru putus sama pacarnya dan sekarang sedang galau-galaunya. Sedangkan, si Reza takut nyatain perasaannya sama cewek yang disukainya. Cinta dalam hati lah.” Ichsan tersenyum mengingat sahabat-sahabatnya yang pada galau.
                “Eh.. udah bel tuh. Kalau ceritanya dilanjutin mungkin tidak ada habisnya. Masuk kelas yuk!”
                Ethan beranjak dari tempat itu dan Ichsan hanya mengikutinya dari belakang sambil bersiul-siul memanggil sahabatnya yang lain yang ada di pojok kelas. Mereka melangkah menuju bangku masing-masing dan duduk tenang.
                Angin pagi bertambah dingin karena cuaca begitu mendung dan sedang hujan deras di luar. Memaksa siswa lebih berkonsentrasi menghadang riuhnya hujan. Awan gelap kian membuat langit begitu kelam membuat bulu kuduk merinding. Mungkin juga menusuk ke sela-sela tulang siswa-siswa tersebut. Memaksa mereka bernafas lebih cepat untuk menghindari kedinginan. Mencerna pelajaran dengan teliti dan menjadikannya ilmu yang bermanfaat. Langkah awal dari mereka menuju suatu tujuan hidup yang sebenarnya. Semua masih belum menemukan apa-apa, semua hanya terus mencari.
                Begitu juga dengan kedua sahabat itu, yang sesungguhnya mereka cari belum juga ditemukan. Apakah kebahagiaan sejati akan bisa mereka dapatkan? Apakah mereka mampu bertahan dalam kehidupan yang penuh tipu daya dan ilusi antar sesama manusia. Belum lagi, alam yang semakin tidak bersahabat karena keegoisan manusia. Dan juga ekonomi yang kian mencekik dan membelenggu. Apakah tidak ada hak untuk selalu tertawa dan tersenyum? Atau hanya tertawaan dan senyuman yang begitu dipaksakan? Apakah penghangat ruangan hanya akan selalu jadi penghangat dari kedinginan bagi orang-orang kaya?


DUA
                Setelah menyelesaikan mata pelajaran, semua siswa istirahat sejenak. Ada yang ke kantin dan ada juga yang hanya diam di kelas menunggu pelajaran selanjutnya sambil mendengarkan lagu.
                “San.. ke keantin yuk. Aku yang traktir kali ini!” Ethan menawarkan kepada Ichsan.
                “Karan dan Reza ga kamu ajak?” Ichsan menengok ke belakang menuju sahabatnya yang lain.
                “Lihat tuh, Karan lagi ngapain. Dia itu lagi full galau, ga bisa diganggu.”
                “Gimana dengan Reza?” Ichsan masih belum beranjak dari tempat duduknya.
                “Reza udah bawa bekal, jadi makannya di sini aja. Ayolah! Mau bel lagi tuh!” Ethan mulai berjalan ke pintu.
                “Ok. Aku ikut.”
                “Ayo cepat, San!”
                “Hmm.. kamu yang traktir kan? Tumben kamu neraktir. Biasa minta di traktir mulu.” Ichsan kembalikan menanyakan hal tersebut.
                “Iya. Iya.” Arif merangkul sahabatnya tersebut.
                “Kesambet dewi apa kamu? Tumben bener mau neraktir aku! Haha..” lanjut Ichsan sambil berjalan berdua dengan Ethan.
                “Hah.. kesambet? Aku kan memang baik, Cuma jarang kamu lihat kebaikanku. Wkwk..” Ethan menyombongkan diri.
                “Makan yang mahalan ah!” Ichsan menggumang.
                “Ya.. terserah kamu sob. Kan aku yang traktir.”
                “Okelah kalau begitu. Aku takkan ragu melahap habis semua makanan yang ada di kantin.”
                Beberapa saat kemudian, mereka sudah sampai di kantin sekolah dan langsung mengambil tempat kosong di pojok kantin. Ichsan melangkah ke arah meja tersebut dan memberikan sedikit senyuman kepada teman-temannya yang sudah makan duluan. Sedangkan, Ethan memesan makanan untuk mereka. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Ethan datang dengan dua porsi nasi goreng lengkap dengan lauk-pauk ayam goreng dan sedikit acar.
                “Kok lama banget sih?” Ichsan tampak heran.
                “Hey. Hey. Lihat tuh! Ramai banget tau. Ya jelas aja lama.” Ethan tersenyum.
                “Okok. Buruan makannya. Sudah hampir masuk juga.”
                Mereka lalu melahap habis semua makanan dengan porsi yang lumayan itu. Ichsan dan Ethan kelihatan sangat menikmatinya atau mungkin mereka lagi dalam keadaan lapar tingkat waspada.
                “Ethan.. seandainya pacar kamu berada satu sekolah sama kita. Mungkin aja kamu ga pernah ngajak makan aku kayak gini.”
                “Ya jelas, gak bakal lah. Sahabat adalah segalanya dan pacar bisa begitu menyiksa dan membuat repot.” Ethan menghela nafas panjang.
                “Kamu kenapa? Ada masalah dengan pacarmu?”
                “Entahlah, aku juga ga tau San.”
                Ichsan menepiskan piring kosong di hadapannya. Diambilnya air mineral yang ada didepannya lalu menenggaknya hingga habis. Ethan masih mengamati teman-teman cewek yang ada di sekitarnya.
                Setelah itu, lagi-lagi pemuda ini menghela nafas.
                “Sebenarnya aku ingin sekali mencintai seseorang dengan seutuhnya.” Ethan memainkan pipet dan menusuk-nusukkannya ke gelas air mineral.
                “Tapi?” tanya Ichsan penasaran.
                “Aku belum menemukan cewek yang juga benar-benar tulus cinta sama aku.” sahutnya lagi.
                Mereka berdua kembali terdiam di meja kantin tersebut sementara siswa lain sudah mulai meninggalkan tempat tersebut dan kembali ke kelas masing-masing.
                “Ke kelas yuk!”
                Pertanyaan itulah yang menyadarkan Ichsan dari ketermenungannya. Matanya kini tak lagi kosong, ada yang berbeda saat itu.
                “Ogh.. Okok. Udah bel juga.”
                Kedua sahabat itu kini telah berjalan kembali ke kelas mereka. Hanya kali ini, tidak ada lagi suara tawa dan canda. Mereka membisu dan hanya berjalan hingga akhirnya mereka sampai di kelas mereka. Ternyata gurunya sudah masuk.
                “Siang, Pak! Maaf kami agak terlambat!” celetuk Ethan ketika sampai di depan pintu.
                “Ya.. silahkan duduk. Awas kalau terlambat lagi.” kata Pak Lim, guru Fisika mereka.          
                “Terima kasih, Pak!” sahut mereka berdua.
                Mereka lalu duduk di kursinya masing-masing. Di ruang kelas tempat mereka menimba ilmu dengan kursi dan meja tua, di bangunan yang umurnya sudah lebih dari setengah abad tapi tetap kokoh berdiri.
                Ruang kelas dan sekolah yang akan mereka tinggalkan sebentar lagi. Dengan banyak suka dan duka di dalamnya. Sekolah yang mengajarkan mereka tentang cinta dan persahabatan. Sekolah yang berada di posisi strategis dengan cat warna putih bersih di padu hijau membuat sekolah ini seakan menyatu dengan alam.
                Memang rasanya akan sangat aneh jika tidak lagi merasakan suasana sekolah itu. Tapi, mereka yang ada di dalamnya punya tujuan hidup yang harus mereka kejar termasuk keempat sahabat tersebut. Ichsan adalah pemuda yang baik, diusianya yang ketujuhbelas ini dia sudah banyak memahami arti kenapa dia dilahirkan. Dia suka bermain basket dan ramah tapi teman-temannya menganggap dia begitu misterius. Karan yang anak orang kaya itu juga tidak sombong, selalu rapi dan trendy kemanapun dia pergi. Reza juga sangat ramah kepada orang-ornag di sekitarnya, suka humor dan hobi jalan-jalan dengan naik sepeda. Dia juga sopan dalam bertutur kata dan selalu menghormati siapa saja. Begitu juga dengan Ethan, meskipun dia seorang yang sudah beberapa kali pacaran, tapi dia tidak pernah mengesampingkan sahabat-sahabatnya.
                Seringkali mereka berempat jalan-jalan sambil bercanda, sebuah persahabatan yang indah. Dari beberapa tempat berbeda, mereka bertemu di satu sekolah yang sama dan menjadi teman. Itulah mereka, walau tanpa cinta yang benar-benar tulus dari seorang gadis tetap tersenyum dengan semangat yang sama. Sukses menurut ukuran masing-masing. Menurut mimpi mereka masing-masing.


TIGA
                Keesokan harinya sepulang sekolah. Semua siswa sudah pulang, namun Ichsan masih belum pulang juga. Bermain basket sendirian di cuaca yang mendung, mengamati langit yang akan segera menumpahkan isinya, mengamatinya sesaat lewat jendela yang cukup luas. Lalu pemuda itu hanya bisa tersenyum sambil bermain basket kembali.
                “San.. sudah sore kok belum pulang?”
                Reza membuka pintu GOR sekolah. Tersenyum sesaat lalu melangkahkan kakinya menuju kursi penonton di sebelah utara gedung tersebut. Reza memandang sahabatnya dengan tatapan yang cukup tajam sebelum mengalihkan pandangannya ke sebuah poster di sisi dinding lainnya.
                “Eh.. kamu Reza. Dari mana? Kok belum pulang juga?”
                Ichsan berhenti bermain basket, lalu ikut duduk.
                “Dari bimbingan. Aku dapat bimbingan konseling dari sekolah, ngapain di sini?” sambung Reza.
                Reza lalu mengambil bola basket yang di bawa Ichsan, kemudian memutar-mutarnya di jarinya.
                “Ah.. nggak, cuma mau main basket aja.” kemudian dia menyodorkan sekaleng minuman soda ke Reza.
                “Pulang yuk! Ngapain juga di sini?” sembari tersenyum. Tangannya lincah memainkan bola.
                “Ntar aja ah.. Kalau kamu mau pulang duluan. Pulang aja sana! Aku baik-baik aja kok.”
                “Apa yang akan kamu lakukan di sini terus, Sob?”
                “Main basket aja. Pas mau maghrib baru aku pulang. Aku juga tak akan lupa kewajibanku kok.” Ichsan mengambil bola basket dari tangan Reza sambil tersenyum simpul.
                “Kamu ga ada tugas??”
                “Ada sih.. tapi, ntar malam deh aku kerjainnya.”
                Reza lalu ikut masuk ke lapangan basket. Ikut bermain dengan sahabatnya tersebut. Hanya suara guntur yang semakin kencang terdengar pertanda akan hujan. Awan kian kelam dan udara semakin dingin yang diiringi tiupan angin kencang.
                “San, aku pulang duluan yah!” Reza pamit diri.
                “Ogh iya. Hati-hati ya Sob. Salam buat Ibu mu!” Ichsan tersenyum pada sahabatnya tersebut, mereka sungguh saling memahami. Seperti saudara yang sedang menimbang perasaan untuk lebih bisa saling melengkapi.
                “Tidak apa-apa nih aku duluan?”
                “Kalau kamu pergi sekarang, apa kamu masih mau menjadi sahabatku?”
                Reza tersentak terdiam mengamati Ichsan yang asyik bermain basket. Memandang sedalam mungkin ke matanya, sepertinya dia menelusuri perlahan benak sahabatnya itu. Mencari arti pertanyaan yang baru saja terlontar. Terdengar seperti gurauan tapi ini serius bagi Ichsan. Dan angin pun mengangguk mengiyakan. Belum lagi hujan yang mulai turun, terkesan dramatis tapi ini nyata.
                “Aku pasti akan selalu jadi sahabatmu. Kamu hanya perlu percaya!”
                Sepertinya Reza yakin benar kalau Ichsan memang tidak sekedar bergurau. Setiap ucapan Ichsan pasti mengandung makna di pikirannya. Semua memang terkesan aneh dan tak biasa. Tapi, itulah Ichsan. Seperti laut yang tenang namun menyimpan jutaan pesona bahkan bisa menghancurkan. Seperti semut yang hanya berjalan hilir mudik snediri, hanya saja selalu singgah untuk menyapa teman-temannya. Atau seperti langit yang penuh dengan misteri yang menakjubkan tapi tetap menenangkan.
                “Kenapa?”  tanya Ichsan singkat.
                “Gak apa-apa. Assalamu alaikum.” sahut Reza.
                “Ok. Wa alaikum salam.”
                Reza meninggalkan ruangan itu dengan langkahnya yang sedikit ragu. Sementara itu, Ichsan menikmati permainan basketnya walalupun hanya sendiri. Hari semakin sore dan Ichsan memutuskan untuk berhenti. Sebagai umat-Nya yang taat dia lalu melaksanakan kewajibannya dengan hikmat. Setelah selesai, meskipun hujan deras dia tetap berjalan ke gerbang sekolah dan di sana dia bertemu seorang gadis.
                “Baru pulang Ichsan?” tanya gadis tersebut.
                “Ah? Aku. Hmm.. iya, aku baru mau pulang nih.” Ichsan tampak bingung karena dia tak mengenal gadis tersebut.
                “Kamu basah kuyub. Haha..”
                “Hem. Iya nih.. tadi juga habis main basket, jadi pas kena hujan terasa seger banget.”
                “Ogh.. Hmm. Kamu pasti bingung siapa aku? Aku itu siswa pindahan dari Jawa Tengah. Namaku Aulia Kirana. Aku tau kamu dari teman kelasku.”
                “Ogh.. macam itu.” jawab Ichsan dengan cueknya.
                Mereka terdiam sesaat.
                “Ngapain di sini? Belum pulang juga?” lanjut Ichsan.
                “Iya. Aku malas di rumah melulu.” jawab Aulia singkat.
                “Ya.. aku juga sering males kalau di rumah melulu. Kamu ga dicariin orang rumah tuh? Nanti mereka cemas loh mikirin kamu, apalgi kamu itu cewek.”
                “Aku lebih percaya mereka gak peduli. Mereka ka nada di luar negeri. Sibuk ama pekerjaan mereka.” kata Aulia sedih.
                “Ogh.. mereka kerja yah?” tegas Ichsan.
                “Yuup.. mereka sibuk sampai ga inget sama anak mereka.”
                “Kok kamu ngomong kayak gitu sih?” tanya Ichsan lagi.
                “Yaa.. emang kayak gitu kali.” Sahut Aulia lirih.
                “Kamu anak tunggal yah?”
                “Iya, tapi aku merasa bukan anak siapa-siapa.”
                “Seandainya bagi mereka kamu lebih penting dari nyawa mereka? Ichsan meyakinkan wanita yang baru dikenalnya 5 menit yang lalu.”
                “Maka aku akan jadi orang yang pertama menangisi mereka.”
                “Kenapa?”
                “Karena aku telah menyangka yang bukan-bukan tentang mereka selama ini. Aku menganggap mereka ga peduli sama aku, meninggalkanku dan tak mengasihi aku lagi saking sibuknya dengan pekerjaan mereka. Eh.. kok aku malah curhat ke kamu sih? Maaf maaf.” Aulia menyadari tingkahnya.
                “Ha..ha.. memang gak boleh curhat?? Ga masalah lagi. Aku bisa kok jadi pendengar yang baik.”
                “Kenapa tertawa San? Aku kan baru kenal kamu. Kok malah langsung curhat-curhatan sama kamu. Aku kan ga enak.”
                “Semua tergantung kamunya aja! Tapi aku dengan senang hati akan menjadi teman curhatmu. Menjadi sahabatmu.”
                “Tapi apapun yang kita alami, pastilah telah diperhitungkan oleh Sang Pencipta.”
                “Tentang persahabatan, percintaan dan kematian?”
                “Iya, benar sekali.” Sahut Aulia yakin.”
                “Aku suka itu Teman. Aku suka.”
                Sepertinya hujan yang deras tadi perlahan telah menampakkan pelangi yang indah. Awan kelam yang tadinya menutupi langit perlahan bergeser. Langit kemerahan pertanda senja telah tampak dan mengiringi niat sahabat yang baru saja terjalin untuk melangkahkan kakinya pulang ke rumah.
                “San.. aku pulang dulu ya!” Aulia melangkah keluar dari gerbang sekolah.
                “Ogh.. iya, hati-hati di jalan yah!”
                “Iya. Kamu juga, see you tomorrow.” Aulia meninggalkan tempat itu, melambaikan tangan ke Ichsan dan berlalu.
EMPAT
                Ichsan juga melangkahkan kakinya kembali ke rumahnya. Membiarkan tetes hujan membasahi tubuhnya. Hujan rintik-rintik mengiringi langkahnya. Hampir lima belas menit dia melangkah. Tiba-tiba dia sudah sampai di rumahnya yang sangat sederhana itu. Pemuda itu lalu merebahkan tubuhnya di ranjang, istirahat sejenak sebelum kembali mengerjakan kewajibannya. Mengingat satu demi satu apa yang telah dilaluinya hari ini. Dengan senyumnya yang khas, dia lalu bangun dan turun dari ranjang lalu mengerjakan kewajibannya.


                “San… bangun, ada guru tuh!” Ethan mencoba membangunkan Ichsan yang tidur di atas meja kelas.
                “Hah? Iya, aku bangun.” jawab Ichsan sambil merapikan bajunya.
                “Tumben kamu molor di sekolah?”
                Ichsan tidak menjawab, tapi hanya serius memperhatikan gurunya yang sedang menerangkan.
                “Kamu ngerjain PR gak?”
                “Udah kok.” sahutnya dengan nada biasa.
                “Ya sudah. Baguslah kalau gitu.” Ethan kemudian kembali memperhatikan gurunya.
                “Mana Et?” tanya Karan.
                “Apa Ran?”
                “PR kamu.”
                “Nih ada, udah aku kerjain juga.”
                “Haha.. baguslah. Kirain kamu ga kerja lagi.” celetuk Karan cepat.
                Sepertinya keempat sahabat ini sudah sangat tahu kebiasaan masing-masing. Ethan, Reza, Karan, dan Ichsan adalah pemuda sebaya dengan kekompakan dan kompetensi tinggi. Meskipun mereka sahabatan tapi mereka tidak suka saling nyontek. Mereka mengikuti pelajaran dengan baik hingga akhirnya bel berbunyi tanda istirahat.
                “Ada yang aneh pada diri Ichsan akhir-akhir ini?” Karan berjalan keluar menuju kantin sekolah diikuti Ethan dan Reza meninggalkan Ichsan yang lagi mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru mereka.
                “Ah.. Ran, seperti tidak tau siapa dia saja?”
                “Tapi Ethan, dia sekarang semakin dingin!”
                “Mungkin dia lagi ga mood kali.”
                “Emang apa yang udah terjadi?”
                “Biasa, teringat masa lalu dia mungkin”
                “Oh.. pantes aja, belakangan ini dia sering melamun.”
                “Reza, kenapa kamu hanya diam saja?” Ethan melihat ke arah Reza yang hanya terdiam sambil terus berjalan menikmati music di hapenya.
                “Apa kalian percaya dengan cinta sejati?”
                Kedua temannya hanya diam, tidak langsung menjawab pertanyaan Reza.
                “Kalau aku sih.. percaya.” Ethan memberi sebuah jawaban.
                “Kalau kamu Karan?” Reza menatap Karan dengan tajam.
                “Percaya, hanya saja cinta sejati takkan ada jika tidak diperjuangkan.”
                “Maksudnya?” tanya Reza belum puas dengan jawaban singkat itu.
                “Ya.. ketika kita mendapatkannya jangan pernah lepaskan dia! Yakinlah bahwa kalian diciptakan memang untuk bersama. Meski harus melepasnya untuk memberinya kesempatan mencari yang lebih baik, percayalah dia akan kembali untukmu karena dialah jodohmu. Cinta sejatimu.”
                Mereka saling melihat, terdiam lalu tertawa.
                “Ha… Ha.. berarti kita harus mulai mencari sekarang!” Karan lalu tertawa.
                “Reza.. Reza.. memang mudah cari kekasih? Memang mudah mencari cinta? Kalau yang kita harapkan bukan dari pacar kita lalu bagaimana?” Ethan memberikan pertanyaan di sela candaannya.
                “Berusaha tidak ada salahnya Et.” sanggah Reza lagi.
                “Tidak usah berdebat, itu masalah gampang.” celetuk Karan.
                “Masalah gampang Karan?”
                “Iya, mungkin kita saja yang tidak sadar kalau banyak cewek di sekolah ini yang naksir sama kita-kita?”
                “Putri itu tidak datang bila kita tidak mencarinya.” guman Karan sesaat kemudian.
                “Ha.. ha.. mungkin juga ya?” Ethan seakan bertanya pada dirinya sendiri.
                Sedangkan Karan hanya bisa tersenyum simpul sambil memandang kedua sahabatnya itu.
                “Sudah ah.. pagi-pagi yang dibahas malah cinta-cintaan!” ungkap Karan hendak menutup pembicaraan.
                “Ye.. siapa yang mulai juga?” bantah Ethan.
                “Iya, tapi batal.” Karan pura-pura sewot.
                “Ha.. Ha..” mereka bertiga tertawa bersamaan.
                “Sudah ah. Kita masuk kelas aja yuk!” Karan kemudian membayar semua cemilan yang sudah di makannya di kantin.
                Setelah mereka semua selesai makan, mereka kembali ke kelas mereka. Sedangkan Ichsan masih sibuk dengan tugas yang diberikan oleh gurunya. Menikmati setiap keringat yang mulai mengucur membasahi lehernya. Atau barangkali dia telah sangat lapar karena belum diberi kesempatan untuk beristirahat sebelum kerjaannya selesai. Memulai kembali pelajaran yang tertunda hingga akhirnya bel berbunyi dengan kencang.

LIMA
                “Et, kamu tadi dicari Ichsan!” Karan menghampiri Ethan.
                “Katanya tadi dia pulang duluan?”
                “Mungkin berubah fikiran, aku baru saja ketemu dia di lapangan basket.”
                “Dia masih di sana Karan?”
                “Iya, ku lihat dia lagi asyk main basket.”
                “Aku ke sana dulu ya!”
                “Oke bro.”
                Ethan lalu kembali masuk ke halaman sekolah itu, menyusuri jalan berdebu menuju lapangan basket. Beberapa kali dia menyapa teman yang berpapasan dengannya.
                “Ada apa San?” Ethan langsung menyapa Ichsan yang sedang asyik bermain basket sendirian.
                “Eh.. kamu masih inget dengan cewek yang kamu kira pacarku?”
                “Iya, masih. Kalian beneran pacaran ya?” sambil berteriak dengan gaya kaget yang dipaksakan.
                “Hus.. jangan ngomong sembarangan!”
                “Kenapa?”
                “Nanti ada yang denger terus salah paham lagi. Kan ga lucu!”


“Kenapa?”
“Malu.”
“Ah…kamu sih, punya komputer cuma bisa buat ngetik doang, gaul dong!”
“Ah…iya-iya, bisa nggak?”
“Bisa, kapan?” jawab Jack meyakinkan Han.
“Tahun depan!’’
“Ceileh…ngambek nich?” goda Jack.
“Bisa nggak?”
“Aku masih ada satu mata kuliah lagi.”
“Ya sudah, aku menunggu disini!”
“Kamu mau nungguin aku?” Jack tampak tidak yakin.
“Iya, emang kenapa?”
“Tumben, sepenting apakah e-mail itu?”